preloader

Artikel Tentang Gender

artikel

Paradigma Baru Pemberdayaan Perempuan

Selain soal gender, tak banyak isu lain yang lebih menantang dan penting dijadikan lensa yang dengannya komunitas Muslim dan non-Muslim memandang dan menilai Islam. Banyak yang menilai Islam itu misoginis, membenci perempuan, atau pria Muslim menindas para wanitanya. Persepsi non-Muslim tentang perempuan, banyak dibentuk oleh citra perempuan berkerudung, masyarakat yang terpisah menurut jenis kelamin hingga kekerasan terhadap perempuan. Jelas, persepsi semacam itu tak dapat dibenarkan. Pria dan wanita dalam komunitas Muslim bergelut dengan banyak isu gender, mulai dari pekerjaan, pendidikan, peran perempuan di lingkungan keluarga dan soal kepemipinan, serta bagaimana otoritas agama mengkonstruksi kondisi-kondisi perempuan. Tentunya, ini bukan sekedar soal hitam dan putih, atau tentang laki-laki berada di atas perempuan.

Dalam  menyatakan posisi perempuan dalam Islam, banyak ulama berpengaruh dan  cendekiawan Muslim mempertimbangkan isu-isu ini dan mengeluarkan  pendapat dan nasihat yang cukup beragam dan tak jarang saling  berlawanan. Mengutip John L. Esposito (2010: 184) dalam The Future of Islam,  bertambahnya peran perempuan dalam suatu masyarakat dapat dilihat di  banyak tempat. Di sejumlah negara-negara Muslim, termasuk Indonesia,  penekanan pada penambahan akses pendidikan dan pekerjaan untuk perempuan  juga makin terbuka. Kaum  perempuan juga banyak yang menjadi anggota dewan organisasi, mendirikan  yayasan, dan menjadi kandidat politik, serta sudah tak terhitung betapa  banyaknya perempuan yang juga bergelut dengan hampir semua profesi  seperti dokter, pendidik, polisi, politisi, relawan dan umumnya mereka  dapat bersekolah dengan bebas sampai jenjang universitas. Meningkatnya  keberanian angkat suara bagi segenap perempuan juga memberi jalan bagi  perwakilan mereka dalam menggerakan berbagai orientasi yang cukup  signifikan. Mereka memberdayakan diri sendiri tidak hanya sebagai  pembela hak-hak perempuan, tetapi juga sebagai penafsir tradisi Islam, seperti Musdah Mulia dan Megawangi yang telah memberikan kontribusi  besar bagi wacana relasi gender dan emansipasi perempuan. Di banyak universitas Islam di Indonesia, jurusan-jurusan gender juga sudah  dibuka secara luas. Di UIN Yogyakarta misalnya, juga membuka jurusan Gender di program pascasarjana. Ini menjadi salah satu bukti konkrit bahwa prospek pemberdayaan perempuan tak hanya terjadi dalam konteks gerakan sosial dan pemikiran semata, tetapi juga telah menjadi satu kajian yang serius di tingkat perguruan tinggi, yang kiranya dapat  menjadi jembatan bagi tercapainya wacana relasi gender yang semakin  berkembang dan sesuai kebutuhan kekinian.

Di ranah politik dan  pemerintahan, sudah begitu banyak para perempuan yang menjadi menteri  dan kepala daerah, bahkan Presiden. Terkait peran perempuan di ranah  politik baru-baru ini, sebut saja misalnya Khofifah Indar Parawansa dan Chusnunia Chalim, yang telah terpilih menjadi gubernur Jawa Timur dan Wakil Gubernur Lampung, mereka adalah ikon dari aktivisme perempuan di ranah sosial dan politik yang berintegritas. Adik Chusnunia, Jihan  Nurlela Chalim, yang berprofesi sebagai dokter dan aktivis sosial, juga  ikut berperan menjadi kandidat politik menuju kursi di Senayan. Banyak perempuan Indonesia menaruh harapan besar dari keterlibatan kaumnya di  ranah politik pemerintahan, di samping ada semacam kepuasan tersendiri,  para perempuan ini juga tertarik untuk merubah hirarki sosial yang lebih  egaliter dan emansipatoris. Tentu, keberadaan mereka yang menjadi  kandidat politik dan aktivis sosial, dipundaknya sudah tertumpu tugas  dan tanggungjawab yang besar bagi nasib perempuan yang lebih baik. Selain  itu, kita bisa melihat, dalam beberapa dasawarsa terakhir, perempuan  membentuk organisasi mandiri, menerbitkan majalah sendiri, jurnal, dan menulis di media-media untuk membentuk penafsiran agama dan sosial  mengenai pendidikan, pekerjaan serta pastisipasi politik. Mereka  menulis, menerbitkan, dan berpartisipasi dalam banyak acara konferensi, baik nasional maupun internasional. Dengan jumlah aktivis yang makin bertambah, para perempuan terbukti menjadi pelopor efektif dalam proses jangka panjang Islam, baik dalam konteks pemahaman kembali, pembaruan  dan prospek transformasi.

Dalam konteks sejarah, peran perempuan   Muslim telah lama terabaikan. Padahal, mereka memiliki posisi penting  seperti sebagai penyair dan penulis literatur, sebagai ahli studi Islam,  kiprah mereka dalam bidang ekonomi dan pendidikan, serta peran penting  mereka dalam mendidik anak. Para Muslimah bahkan banyak yang menjadi  relawan, seperti di rumah sakit, madrasah, dan masih banyak lagi. Jihad  pembaruan oleh para perempuan harus terus diupayakan sebagai bagian  dari bentuk perjuangan untuk mendefinisikan kembali, serta memperbarui  visi Islam di masa mendatang. Jika pembuatan aturan-aturan baru tak melibatkan perempuan dan hanya laki-laki semata, sementara perempuan  menjadi bagian penting dari objek yang dibebani aturan tersebut, maka  tak ada kewajiban sama sekali bagi perempuan untuk menjalankan  aturan-aturan itu. Artinya, para perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat dalam perjuangan, memimpin sejumlah aktivitas  keagamaan, bahkan dapat juga terlibat dalam merekonstruksi  pikiran-pikiran umat Islam. Seperti memperbarui pemahaman-pemahaman lama  tentang Alquran dan ajaran-ajarannya agar Islam dapat dipraktikan secara egaliter dan memihak. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan di ranah sosial dan politik akan sekaligus melemahkan suatu rezim keulamaan yang sering dianggap “otoriter” dalam agama, yang umumnya sering didominasi oleh laki-laki  beserta tafsir-tafsir misoginisnya. Sebab, pemberdayaan perempuan di ranah politik, akan mengangkat sejumlah perempuan ke kekuasaan untuk mewakili sesama perempuan.

Pelanggaran terhadap hak dasar dan hak  politik perempuan memang harus benar-benar diakhiri, sebab ini juga akan  menjadi bagian dari suatu perubahan demokrasi yang lebih baik dan  sehat, hal ini meniscayakan suatu memberdayakan mayoritas perempuan  secara keseluruhan. Tak hanya soal pemberdayaan di ranah politik  atau “politik perwakilan” perempuan, pemberdayaan itu juga dapat secara  efektif dilakukan mulai dari akar rumput. Misalnya, masyarakat sipil  pada umumnya dan sektor swasta juga merupakan jalan yang sangat  signifikan untuk pemberdayaan perempuan. Soal di akar rumput ini, Heba Raouf (2000: 27) dalam On the Future of Women and Politics in the Arab Word,  menyatakan bahwa gerakan perempuan yang terlibat dalam politik resmi  berisiko dikooptasi oleh negara, dan akses ke kekuasaan, sedangkan  pemberdayaan perempuan dalam komunitas setempat, efektik dapat melangkah  ke arah publik untuk membela kepentingan mereka dan dapat memupuk demokrasi dalam semua dimensinya yang kompleks. Partisipasi perempuan di ranah politik dan publik akan membangkitkan semangat  perubahan yang progresif. Dan, kontribusi mereka, harus menjadi bagian  dari paradigma baru yang dapat menumbuhkan hubungan antara wacana dengan aktivitas sosial, budaya, agama dan hak-hak asasi perempuan.

Pustaka: https://geotimes.co.id/opini/paradigma-baru-pemberdayaan-perempuan/